ARTIKEL
BERITA UTAMA
FEATURE
0
Menembus Batas dengan Ilmu: Kisah Ida Mujtahidah, Alumni LPDP Difabel yang Lulus Tercepat dan Tesis Terbaik di UGM
Keterbatasan fisik tidak pernah menjadi penghalang bagi Ida Mujtahidah untuk bermimpi dan melangkah jauh. Alumni penerima Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) ini membuktikan bahwa tekad kuat, dukungan keluarga, serta akses pendidikan yang inklusif mampu membuka jalan prestasi seluas-luasnya.
Ida Mujtahidah akrab disapa Aida merupakan lulusan Magister Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan capaian istimewa. Ia tercatat sebagai mahasiswa tercepat lulus di angkatannya, meraih IPK cumlaude, sekaligus menorehkan prestasi akademik dengan tesis yang dinobatkan sebagai tesis terbaik program studi.
Lebih dari sekadar deretan prestasi, kisah Aida adalah cerita tentang keberanian menghadapi keterbatasan, keteguhan memperjuangkan kemandirian, dan komitmen memperluas makna inklusivitaskhususnya bagi penyandang disabilitas di Indonesia.
Aida lahir dan besar di Jombang, Jawa Timur, dalam lingkungan keluarga pesantren yang kuat dengan tradisi pendidikan. Orang tuanya mengelola sebuah yayasan pondok pesantren. Sang ayah merupakan dosen perguruan tinggi, sementara ibunya berprofesi sebagai guru.
Sejak kecil, Aida akrab dengan buku, diskusi, dan nilai-nilai keilmuan. Perpustakaan keluarga menjadi ruang favoritnya. Di sanalah ia menghabiskan waktu membaca buku sejarah, pengetahuan umum, hingga kajian keislaman khas pesantren.
Namun, sejak lahir Aida hidup dengan kondisi difabel daksa. Berbagai pemeriksaan medis dilakukan untuk mengetahui penyebabnya, namun tidak ada satu diagnosis yang benar-benar pasti. Alih-alih terjebak pada ketidakpastian, Aida memilih berdamai dengan kondisinya dan fokus pada pengembangan diri.
Sebagai anak dengan disabilitas, Aida tumbuh dengan perhatian dan pengawasan penuh dari keluarga. Namun seiring waktu, ia merasa perlu membuktikan bahwa dirinya mampu hidup mandiri.
Keputusan besar itu diambil saat ia mulai menempuh pendidikan sarjana. Aida berkomitmen untuk tidak selalu bergantung pada pendamping.
“Sekarang alhamdulillah ke mana-mana sendiri. Terbang ke Bali sendiri sudah tidak masalah. Keliling Jawa juga sudah bisa,” ujarnya sambil tersenyum.
Bagi Aida, kemandirian bukan sekadar soal mobilitas, melainkan keberanian mengambil keputusan hidup dan bertanggung jawab atas pilihan sendiri.
Pendidikan sebagai Hak, Bukan Pengecualian
Di mata keluarga Aida, pendidikan adalah hak, bukan privilese. Orang tuanya tidak pernah membatasi cita-citanya hanya karena kondisi fisik.
“Di lingkungan pesantren, sering kali penyandang disabilitas hanya disimpan di rumah. Tapi saya beruntung. Orang tua saya membuka banyak pintu dan memberi kepercayaan,” tuturnya.
Kepercayaan itu ia balas dengan prestasi akademik yang konsisten, membuktikan bahwa kesempatan yang setara akan melahirkan potensi luar biasa.
Lolos LPDP Sekali Coba
Tahun 2022 menjadi titik balik penting. Aida mengikuti seleksi Beasiswa LPDP dan berhasil lolos dalam satu kali percobaan. Ia memilih melanjutkan studi Magister Hubungan Internasional, sejalan dengan latar belakang sarjananya.
Keputusan tersebut sempat menimbulkan keraguan dari sang ayah. Namun Aida meyakinkannya dengan pendekatan religius. Ia mengutip Surat Al-Hujurat ayat 13 tentang penciptaan manusia yang berbangsa-bangsa untuk saling mengenal.
“Saya bilang ke Abah, ini ayatnya HI banget. Ini perintah Allah untuk mengenal bangsa-bangsa,” kenangnya. Ayat itu menjadi jembatan antara ilmu, keyakinan, dan restu keluarga.
Mahasiswa Difabel dan Advokasi Inklusivitas di UGM
Menjadi mahasiswa difabel di FISIPOL UGM menghadirkan tantangan tersendiri. Meski dikenal sebagai kampus inklusif, Aida menemukan masih ada ruang yang perlu dibenahi.
Ia pernah diminta pimpinan fakultas menunjukkan langsung area kampus yang menyulitkannya. Dari dialog itu, lahirlah pembangunan jalur landai (ramp) yang ramah bagi pengguna kursi roda dan kruk—menjadi ramp pertama yang menghubungkan beberapa titik di FISIPOL.
“Saya dikirimi foto saat ramp itu dibangun. Itu bukan untuk saya pribadi, tapi untuk semua,” ujarnya. Bagi Aida, inklusivitas adalah soal hak dan keberlanjutan.
Kerja keras Aida berbuah manis. Pada November 2024, ia resmi menyandang gelar magister sebagai lulusan tercepat di konsentrasi MAIR angkatan 2023. Tak hanya itu, tesisnya dinobatkan sebagai tesis terbaik program studi.
“Saya lulus pertama, dan setelah semua teman-teman lulus, saya mendapat kabar tesis saya terpilih sebagai yang terbaik,” ucapnya penuh syukur.
Prestasi ini menegaskan bahwa penyandang disabilitas tidak hanya mampu bertahan di dunia akademik, tetapi juga unggul.
Alih-alih mengejar karier di kota besar, Aida memilih kembali ke Jombang. Ia aktif membantu yayasan keluarga, YPI Miftahul Ulum, khususnya di bidang penelitian dan pengembangan. Yayasan tersebut juga menaungi sejumlah siswa dengan disabilitas.
Aida juga menjadi peneliti independen di Jaringan Periset Disabilitas, terlibat dalam riset dan advokasi isu disabilitas. Selain itu, ia aktif menulis, terlibat dalam proyek buku, serta menjadi editor sastra pesantren.
Saat ini, Aida fokus menggaungkan disability awareness di lingkungan pondok pesantren. Ia menilai pemahaman tentang disabilitas di lembaga pendidikan keagamaan masih minim.
“Tahun lalu saya menjadi panelis di Simposium Pondok Pesantren Indonesia dan membawakan isu disabilitas. Itu akan terus saya gaungkan,” katanya.
Ia juga mendorong pesantren membangun fasilitas yang lebih ramah difabel dan menciptakan ruang belajar yang inklusif.
Meski berasal dari keluarga terpandang, Aida tak sepenuhnya lepas dari perundungan. Namun bentuknya sering kali non-verbal—dipandang sebelah mata, dibatasi, atau dianggap berbeda.
“Bukan kekerasan fisik atau kata-kata kasar, tapi cara memperlakukan,” ujarnya.
Menurut Aida, tantangan terbesar penyandang disabilitas bukan hanya kondisi fisik, melainkan sistem sosial yang belum sepenuhnya berpihak.
Mimpi Doktoral dan Pesan untuk Generasi Muda
Aida masih menyimpan mimpi besar: melanjutkan studi ke jenjang doktoral. Ia telah lolos seleksi LPDP 2025 dan menjadi calon penerima beasiswa.
“Kalau ilmunya lebih banyak, insyaallah lebih bermanfaat. Semoga bisa, mohon doanya,” ucapnya.
Kepada generasi muda Indonesia, Aida berpesan agar kepedulian sosial dibarengi dengan penguasaan ilmu.
“Peduli itu penting, tapi ilmu juga harus. Ilmu adalah investasi paling berharga untuk perubahan masyarakat,” pungkasnya.**
Via
ARTIKEL

Lintas Indonesia
Taktis.web.id
Zonix.web.id
Pojok Media
Politikanews
Gepani.web.id
Borneonews.web.id
Kalbarsatu.web.id
Karawang Bergerak
Bukafakta.web.id
Radarkita.web.id
Inspirasi.web.id
Indeka.web.id
Kampara.web.id
Linkbisnis.co.id
Expose.web.id
Suarakotasiber
RIzki Suarana